Jabar ex-pose.net Puncak, Jawa Barat – Sebuah skandal besar mengguncang kawasan wisata Puncak setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke salah satu bangunan wisata mewah yang berdiri di atas lahan konservasi. Hibisc Fantasy, tempat wisata hasil kerja sama Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Jaswita Jabar dan PTPN VIII, diduga melanggar aturan tata ruang yang berlaku.
Tanpa ragu, Gubernur Dedi memerintahkan pembongkaran bangunan tersebut. Namun, muncul pertanyaan besar: Bagaimana proyek ini bisa berjalan hingga tahap pembangunan? Jika proyek ini melanggar aturan, siapa yang bertanggung jawab?
BUMD dan PTPN VIII: Penjaga Aset Negara atau Pelanggar Aturan?
Alih fungsi lahan di kawasan Puncak bukanlah isu baru. Sudah banyak kajian yang menunjukkan bahwa konversi lahan hijau menjadi kawasan wisata dan properti komersial menjadi penyebab utama bencana ekologis seperti banjir dan longsor di daerah hilir, termasuk Jakarta dan Bogor.
Dalam kasus Hibisc Fantasy, keterlibatan PT Jaswita Jabar dan PTPN VIII menjadi sorotan utama. Kedua entitas ini, yang seharusnya melindungi dan mengelola aset negara sesuai aturan, justru terlibat dalam proyek yang diduga melanggar tata ruang. Direktur PT Jaswita Jabar, Wahyu Nugroho, serta Direktur PTPN VIII, Didik Prasetyo, kini menjadi figur yang harus dimintai pertanggungjawaban.
Pelanggaran Tata Ruang dan Indikasi Permainan Perizinan
Berdasarkan regulasi tata ruang, kawasan Puncak telah ditetapkan sebagai zona konservasi dan daerah resapan air. Namun, proyek Hibisc Fantasy berdiri di atas lahan yang seharusnya tidak diperuntukkan bagi pembangunan wisata komersial. Pelanggaran ini semakin mencurigakan karena lahan yang digunakan melebihi batas pemanfaatan yang diizinkan.
Seharusnya, proyek dengan dampak lingkungan besar seperti ini melalui kajian mendalam dan mendapatkan izin ketat. Namun, kenyataan berbicara lain. Jika proyek ini memang tidak sesuai peruntukan, bagaimana bisa mendapatkan izin? Siapa pihak yang menyetujui pemanfaatan lahan yang melampaui batas aturan?
Akankah Mafia Perizinan Terus Beraksi?
Kasus Hibisc Fantasy mengungkap indikasi kuat adanya permainan kotor dalam perizinan alih fungsi lahan. Jika dibiarkan, kasus ini bisa menjadi preseden buruk bagi pengelolaan tata ruang di Indonesia.
Publik berhak menuntut transparansi dan keadilan dalam kasus ini. Apakah para pemangku kebijakan akan membiarkan praktik ilegal ini terus berlangsung? Ataukah mereka akan bertindak tegas untuk menegakkan aturan?
Satu hal yang pasti: masyarakat tidak boleh tinggal diam. Saatnya bersuara dan menuntut kejelasan. Yakin, Tigin, Tinekanan!
(Prayoga)