Jabar,ex-pose.Net.Jakarta — Kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui secara universal dan dijamin dalam konstitusi Indonesia. Namun, di tengah dinamika sosial dan politik yang semakin kompleks, muncul pertanyaan krusial: Apakah kebebasan ini masih murni sebagai hak, atau justru menjadi ancaman jika disalahgunakan?
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3), ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat secara bebas melalui media apapun. Hak ini juga diperkuat oleh ratifikasi Indonesia terhadap Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No. 12 Tahun 2005. Namun, hak tersebut bukan tanpa batas.
“Penyalahgunaan kebebasan berpendapat dapat merusak sendi-sendi kebangsaan,” ungkap Holil Aksan Umarzen, penulis artikel yang mengupas isu ini secara mendalam. Ia menyoroti maraknya penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah sebagai bentuk-bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab.
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa selama pandemi COVID-19, ribuan berita palsu tersebar luas, memicu kepanikan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Komnas HAM juga melaporkan meningkatnya ujaran kebencian berbasis SARA yang berpotensi memicu konflik horizontal.
Yang lebih mengkhawatirkan, ujar Umarzen, adalah jika pelanggaran ini dilakukan oleh tokoh-tokoh berpengaruh. “Ketika politisi, akademisi, atau tokoh masyarakat menyebarkan informasi keliru atau provokatif, dampaknya jauh lebih besar. Ini bisa memperbesar polarisasi, menurunkan kepercayaan publik, dan bahkan mengancam stabilitas nasional,” tegasnya.
Ia mencontohkan bagaimana fitnah terhadap tokoh nasional seperti mantan Presiden Joko Widodo sempat mengganggu suasana politik dan merusak citra kepemimpinan nasional.
Dalam jangka panjang, penyalahgunaan kebebasan berpendapat dapat menyebabkan perpecahan sosial, konflik berkepanjangan, dan melemahnya kepercayaan terhadap institusi negara. “Demokrasi bukan berarti bebas tanpa batas. Ada tanggung jawab moral dan etika yang harus dijunjung tinggi, terlebih oleh mereka yang menjadi panutan publik,” tambah Umarzen.
Ia mengajak semua elemen bangsa, khususnya para tokoh, untuk menjadi teladan dalam menyampaikan pendapat secara konstruktif, berbasis fakta, dan menjunjung tinggi etika demi menjaga keutuhan dan harmoni bangsa.
“Menjaga kebebasan berpendapat berarti juga menjaga persatuan Indonesia.”
(Undang Wiga)